Yuk Kenali Dampak Negatif Ketergantungan Obat Nyeri Ringan

Yang awalnya hanya sekadar untuk meredakan nyeri kepala, demam, atau pegal-pegal, kini obat nyeri ringan seperti paracetamol dan ibuprofen sudah menjadi “teman wajib” bagi banyak orang di rumah. Tinggal ambil, telan, dan rasa sakit pun hilang. Praktis, murah, dan mudah ditemukan di warung hingga apotek.

Tapi, pernah kepikiran tidak sih SiGMAnia, kalau terus-terusan minum obat nyeri ringan tanpa kontrol dokter, apa efeknya ke tubuh dalam jangka panjang? Apakah benar-benar aman?
Yuk, simak penjelasan lengkapnya berikut ini!

Obat nyeri ringan seperti paracetamol (acetaminophen) dan ibuprofen (golongan NSAID)merupakan analgesik yang umum digunakan untuk meredakan nyeri ringan dan menurunkan demam. Keduanya mudah diakses, bahkan sering dibeli bebas di apotek dan warung. Namun, penggunaan berulang tanpa pengawasan medis, terutama dalam dosis tinggi dan jangka panjang, dapat menimbulkan dampak kesehatan yang serius.

Melansir dari laman resmi National Library of Medicine, penggunaan paracetamol dikaitkan dengan peningkatan risiko penyakit ginjal baru sebesar 23% (OR 1,23; 95% CI 1,07–1,40) dibandingkan dengan pengguna non-obat. Mekanisme utamanya melibatkan nekrosis tubulus akut, yang dapat memburuk pada individu dengan dehidrasi, gangguan hati, konsumsi alkohol, atau penggunaan obat nefrotoksik lainnya.

Secara metabolisme, paracetamol sebagian besar diproses di hati melalui jalur glukuronidasi dan sulfatasi. Namun, sekitar 5–15% diubah menjadi NAPQI (N-acetyl-p-benzoquinone imine), metabolit toksik yang dibentuk oleh enzim sitokrom P450. Dalam dosis tinggi, cadangan glutation di hati dapat habis, sehingga NAPQI menyebabkan kerusakan sel hati yang berpotensi menimbulkan gagal hati akut bahkan kematian, loh SiGMAnia.

Sementara itu, ibuprofen cenderung lebih jarang menyebabkan kerusakan hati. Namun, beberapa kasus mencatat efek hepatotoksik, khususnya pada penggunaan jangka panjang atau dosis tinggi. Dalam sebuah meta analisis, hanya 2 dari 126 kasus cedera hati akibat obat dikaitkan dengan ibuprofen. Namun, masalah lain seperti gangguan lambung juga muncul sekitar 10–20% pengguna ibuprofen mengalami dispepsia, dan 15–35% mengalami luka pada saluran pencernaan setelah penggunaan selama tiga bulan.

Penelitian oleh Swathi dkk dalam Jurnal Farmakologi India menunjukkan bahwa 9–13% pasien dengan penyakit ginjal kronis masih menggunakan NSAID seperti ibuprofen, yang justru memperburuk fungsi ginjal mereka. Selain itu, meta analisis menunjukkan bahwa penggunaan berat paracetamol dan ibuprofen dapat meningkatkan risiko kanker ginjal hingga 28%.

Risiko meningkat tajam saat kedua obat ini digunakan bersamaan tanpa evaluasi fungsi hati dan ginjal. Terdapat laporan kasus gagal ginjal akut dan hepatitis kolestatik pada anak-anak yang menggunakan kombinasi paracetamol dan ibuprofen dalam kondisi dehidrasi. Hal ini menekankan pentingnya jeda waktu pemakaian serta evaluasi medis sebelum konsumsi berulang.

Secara keseluruhan, ketergantungan pada analgesik ringan seperti paracetamol dan ibuprofen dapat berdampak serius bagi kesehatan hati, ginjal, dan saluran pencernaan, terutama jika digunakan berlebihan, tanpa jeda, atau tanpa pengawasan medis. Oleh karena itu, edukasi masyarakat dan peran aktif tenaga medis sangat krusial dalam mencegah efek samping jangka panjang dan menjaga kualitas hidup masyarakat secara menyeluruh.

Penulis: Mg_Oktavia
Editor: Frida

Post Comment