Politik Ekologi Perkotaan dan Masalah Banjir

Oleh : Dina Dzahabiyyati Ulumiah, Mahasiswa Fakultas Dakwah

Informasi awal dari Pusat Krisis Kesehatan mencatat bencana banjir yang terjadi di dua kecamatan, yaitu Pakuhaji dan Teluknaga, Tangerang, Banten, pada tanggal 17 Februari 2024. Hujan dengan intensitas tinggi yang terjadi sejak Jumat malam menyebabkan debit air Sungai Cisadane meluap, mengakibatkan banjir di Desa Tanjung Burung, Desa Tanjung Pasir, Kecamatan Teluknaga, dan Desa Keramat, Kecamatan Pakuhaji pada Sabtu pagi pukul 09.30 WIB. Akibat kejadian ini, ratusan rumah warga terdampak dengan Tinggi Muka Air (TMA) mencapai 20-100 cm. Berdasarkan data awal dari Dinas Kesehatan setempat, tidak ada korban jiwa atau luka-luka, serta tidak ada warga yang harus mengungsi.

Penyebab banjir sangat beragam, begitu pula dengan solusinya. Banyak ahli telah membahas masalah ini dalam berbagai kajian ilmiah, diskusi publik, dan tulisan di media. Pada dasarnya, kita tidak kekurangan informasi mengenai penyebab banjir di wilayah Jabodetabekpunjur (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi-Puncak-Cianjur) dari tahun ke tahun. Berbagai solusi banjir telah diajukan, dan sebagian di antaranya sudah dan sedang diimplementasikan oleh Pemerintah Pusat dan Provinsi. Namun, mengapa Tangerang dan sekitarnya masih terus dilanda banjir?

Pengendalian alih fungsi lahan untuk mengatasi persoalan banjir belum dilakukan secara optimal. Kawasan ekosistem perkotaan diubah menjadi hutan beton dalam upaya mengejar pertumbuhan ekonomi. Kawasan resapan air dan hutan di wilayah hulu telah berubah menjadi lahan pertanian dan area wisata.

Di Jakarta, pelanggaran tata ruang di wilayah resapan air dan hutan kota mencapai 3.925 hektar selama periode 1985-2006 (Rukmana, 2015). Wilayah-wilayah ini termasuk Kelapa Gading, Sunter, Tomang, Senayan, dan Pantai Indah Kapuk, yang kini dipenuhi oleh mal, perumahan elit, hotel, apartemen, pabrik mobil, dan lapangan golf.

Penindakan terhadap pelanggaran tata ruang biasanya hanya berupa sanksi administratif dan denda. Pemulihan fungsi kawasan lindung di area yang melanggar tersebut hampir tidak pernah dilakukan. Akibatnya, hampir 90% wilayah DKI Jakarta kini tertutup oleh hutan beton, meskipun seharusnya wilayah ini berfungsi sebagai rumah air.

Hal serupa juga terjadi di Jawa Barat. Menurut data dari Forest Watch Indonesia, 5.700 hektar hutan di Puncak hilang dalam periode 2000-2016. Akibatnya, wilayah resapan air berkurang, dan banjir kiriman ke Jakarta terjadi secara periodik saat hujan deras.

Menurut Rukmana (2015), Rencana Tata Ruang (RTR) merupakan salah satu alat kebijakan yang digunakan untuk mengatasi dan mengendalikan alih fungsi lahan. Namun, sering kali RTR baru disusun untuk “pemutihan” pelanggaran tata ruang. Sebagai dokumen politis yang disahkan oleh lembaga legislatif, RTR mencerminkan beragam kepentingan.

Pemerintah telah menetapkan berbagai aturan dan pedoman sebagai standar dan prosedur penyusunan RTR. Tujuannya adalah untuk mempermudah penetapan regulasi, kewenangan, kegiatan, anggaran, dan pengawasan dalam penataan ruang. Namun, meskipun standar dan regulasi tersebut jelas, “politik pengetahuan” dan “politik kepentingan” masih memengaruhi pengalokasian pemanfaatan ruang, mengedepankan kepentingan kelompok tertentu.

Pendekatan standar dan prosedural tersebut dikritik karena tidak mampu menciptakan ruang yang inklusif dan adaptif terhadap perubahan masa depan, seperti yang disimpulkan oleh penelitian Afriyanie (2020). Afriyanie menekankan bahwa pendekatan standar dan prosedural ini gagal mempertimbangkan manfaat alam yang diberikan oleh Ruang Terbuka Hijau (RTH), sehingga penempatan RTH tidak adil dan tidak berkelanjutan.

Di perkotaan, manfaat alam dari RTH sering hanya dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat, terutama di kompleks perumahan elit yang menyediakan taman yang indah dan danau yang luas. Promosi bebas banjir juga menjadi bagian dari strategi pemasaran mereka. Namun, pembangunan perumahan elit seringkali menyebabkan krisis ekologi seperti banjir bagi kampung di sekitarnya, seperti yang terjadi di Jakarta akhir-akhir ini.

Pemerintah daerah mengalami kesulitan dalam menyediakan RTH Publik yang inklusif bagi seluruh warga sesuai dengan ketentuan Undang-Undang Penataan Ruang. Menurut undang-undang tersebut, setiap pemerintah daerah diwajibkan memiliki RTH seluas 30% dari luas administrasinya, dengan proporsi 20% untuk RTH Publik dan 10% untuk RTH Privat. Namun, di Jakarta, luas RTH Publik hanya mencapai kurang dari 9%. Upaya Pemerintah Provinsi DKI Jakarta untuk menyediakan RTH Publik dilakukan melalui mekanisme bonus zoning dan pengalihan hak membangun.

Mekanisme yang disebutkan di atas, meskipun bersifat pasar dan bergantung pada prinsip sukarela, tidak selalu terlaksana sepenuhnya. Tidak ada jaminan bahwa RTH yang dihasilkan dari mekanisme tersebut benar-benar ditempatkan dengan tepat sesuai kebutuhan. Panduan untuk penyediaan RTH juga tidak secara khusus mengatur lokasi mereka, dan manfaat beragam dari ekosistem tidak dipertimbangkan sepenuhnya dalam proses penyediaan RTH yang inklusif. Akibatnya, RTH sering kali hanya dijadikan sarana untuk memenuhi persyaratan minimal, yang bahkan belum sepenuhnya tercapai.

Post Comment