Perempuan Terakhir di Rumah Itu
Di sebuah rumah tua yang berdiri teduh di tepi pantai, tinggalah seorang anak perempuan bungsu bernama Melati. Ia dilahirkan ketika ibunya mulai letih menyulam harapan, dan ayahnya telah menua dalam keheningan. Sebagai anak terakhir, Melati bukan hanya penutup kisah, tapi juga perajut sunyi dalam keluarga yang perlahan berhamburan.
Kakak-kakaknya tumbuh dengan peta kehidupan masing-masing. Ada yang pergi ke kota mengejar harapan, ada pula yang pergi tanpa pamit. Rumah itu tak pernah berubah bentuk, tapi suara dan tawa yang dulu berkumpul tiap sore, menghilang satu per satu.
Melati tumbuh dalam diam yang panjang. Ia belajar membaca dari koran-koran usang yang tersimpan rapi di lemari kayu. Ia belajar memasak dari api di dapur tua yang tak pernah padam sejak ibunya masih kuat mengangkat wajan. Ia tumbuh bukan karena diajari, tetapi karena menyerap segalanya, seperti tanah menyerap hujan.
“Bungsu itu penutup, tapi juga akar,” ujar ibunya suatu malam, ketika rambutnya disisir lembut oleh tangan kecil Melati.
“Kakak-kakakmu tumbuh ke langit. Tapi kamu… kamu yang membuat semuanya tetap terhubung.”
Melati tak banyak bicara. Namun ia tahu, setiap pagi ia bangun bukan hanya untuk dirinya sendiri. Ia menyapu lantai yang pernah dilewati langkah kakaknya. Ia menyiram bunga yang ditanam ibunya. Ia menyusun kembali foto keluarga yang mulai pudar dan nyaris terlupakan.
Hingga suatu hari, angin membawa kabar, ibunya sakit. Satu per satu kakaknya pulang. Rumah itu kembali penuh, bukan oleh canda, melainkan isak tangis. Dan di tengah duka yang menggumpal seperti awan yang menahan hujan, Melati tetap berdiri, memeluk ibunya yang terbaring di pembaringan terakhir.
“Terima kasih, Melati,” bisik sang ibu, sebelum senja benar-benar menjemputnya.
Melati hanya tersenyum. Air matanya jatuh perlahan, seperti embun di pagi hari yang enggan beranjak.
Kini rumah itu sepenuhnya milik Melati. Tapi ia tak pernah merasa sendiri. Sebab di setiap sudut rumah, tersimpan serpihan dari mereka semua. Ia menjadi penjaga, pelindung, sekaligus pelipur luka yang tak pernah terucap.
Ia anak bungsu. Tapi bukan yang paling kecil. Ia memiliki hati yang paling luas.
Penulis: Mg_Saroh
Editor: Ayunda
Post Comment