Pacu Jalur: Tradisi Warisan Budaya Riau yang Kini Viral!
Dari perahu panjang yang dulunya sekadar alat transportasi di Sungai Kuantan, kini Pacu Jalur telah menjelma menjadi ajang balap dayung tradisional yang mendunia. Tradisi masyarakat Kuantan Singingi, Riau ini memiliki akar sejarah yang kuat, bahkan disebut telah berlangsung sejak tahun 1903. Menariknya, di masa kolonial Belanda, tradisi ini juga sempat menjadi bagian dari perayaan ulang tahun Ratu Wilhelmina.
Lantas apa yang menarik dari Pacu Jalur ini, yuk SiGMAnia kita simak penjelasannya!
Dengan panjang mencapai 40 meter dan ditumpangi oleh 45 hingga 60 orang pendayung, satu jalur (perahu) bukan hanya menampilkan kekuatan fisik, tetapi juga mencerminkan strategi, kekompakan, hingga nilai spiritual. Sebelum perlombaan dimulai, setiap tim akan menjalani ritual khusus bernama Melangka, yaitu sebuah prosesi pembersihan spiritual agar perahu terbebas dari gangguan gaib dan diberi keselamatan selama perlombaan.
Mengutip dari jurnal berjudul “Revitalisasi Pacu Jalur Sebagai Warisan Budaya Takbenda di Kuantan Singingi,” karya Sarbaini tahun 2021, dijelaskan bahwa Pacu Jalur tidak hanya menjadi atraksi budaya, tetapi juga memiliki fungsi sosial dalam mempererat hubungan antarkampung dan menyatukan identitas masyarakat Melayu Riau.
Yang membuat tradisi ini semakin unik adalah hadirnya sosok anak-anak di ujung perahu yang disebut Togak Luan. Anak-anak ini berdiri tegak di ujung haluan sambil menari dan menjaga keseimbangan perahu. Aksi mereka tidak hanya simbolik, tapi diyakini mampu membangkitkan semangat para pendayung.
Dari sinilah fenomena baru muncul, Aura Farming, yaitu seorang penari cilik bernama Rayyan Arkan Dikha yang baru berusia 11 tahun viral di media sosial karena aksinya yang lincah dan percaya diri saat berdiri dan menari di ujung perahu saat lomba berlangsung. Gerak tubuhnya yang seirama dengan kayuhan para pendayung menarik perhatian publik, sehingga banyak warganet menyebut aksinya sebagai “petani aura”, atau Aura Farming. Fenomena ini bahkan ditiru oleh anak-anak dari berbagai daerah dan negara.
Menurut artikel yang berjudul “Tradisi Pacu Jalur dan Dinamika Sosial Budaya di Riau,” karya Ramadhani dan Firdaus tahun 2020, juga menjelaskan bahwa keberadaan anak-anak sebagai penari di ujung perahu ini memiliki nilai simboliknya sendiri, yakni sebagai penyatu energi tim serta penjaga keseimbangan spiritual jalur.
Tak heran jika kini Pacu Jalur tidak hanya dipandang sebagai lomba tradisional, tapi telah menjelma menjadi ikon budaya global yang merepresentasikan harmoni, gotong royong, serta kekayaan budaya Melayu Riau yang hidup dan berkembang.
Festival Pacu Jalur selalu digelar setiap tahun di Tepian Narosa, Teluk Kuantan. Acara ini terbuka untuk umum dan biasanya menjadi ajang berkumpulnya ribuan orang dari berbagai penjuru daerah. Bahkan, sempat muncul klaim dari beberapa warganet Malaysia yang menyebut bahwa Pacu Jalur merupakan bagian dari budaya mereka. Namun, Pemerintah Provinsi Riau dengan tegas menyatakan bahwa tradisi ini lahir dan berkembang secara autentik dari Kuantan Singingi, Riau, dan telah diakui secara resmi sebagai Warisan Budaya Takbenda Indonesia sejak tahun 2014 oleh Kemendikbudristek.
Budaya Pacu Jalur bukan hanya perlombaan perahu. Ia adalah simbol semangat kolektif, warisan spiritual, serta kebanggaan budaya yang terus mengalir mengikuti zaman dari arus sungai Kuantan hingga menembus batas dunia. Sudah seharusnya kita sebagai warga negara Indonesia yang memiliki banyak jenis budaya, untuk menjaga dan melestarikannya.
Penulis: Mg_Rania
Editor:Â Frida
Post Comment