Keadilan Agraria Ditinggalkan, Mafia Tanah Diuntungkan
Penggusuran paksa yang terjadi di berbagai daerah bukan cuma soal rumah yang dirubuhkan. Ini soal ketidakadilan yang masih kuat dalam sistem agraria kita. Salah satu contohnya terjadi di Kampung Kebon Sayur, Cengkareng, Jakarta Barat.
Dilansir dari akun Instagram @aliansi_pwks, kasus ini sudah berlangsung sejak 2014. Namun hingga kini, kasunya tidak pernah ditanggapi secara serius. Pada awal Maret 2025, warga kembali digusur secara paksa. Alat berat datang tiba-tiba meratakan rumah dan tempat usaha warga tanpa pemberitahuan yang jelas. Banyak warga, termasuk ibu-ibu dan anak-anak, trauma dan kehilangan tempat tinggal.
Tanah seluas 21,5 hektare itu diklaim oleh Sri Herawati Arifin berdasarkan putusan Mahkamah Agung. Penggusuran dilakukan atas dasar hukum dan disertai intimidasi berupa tawaran uang pindah sebesar Rp5 juta hingga Rp25 juta. Faktanya, menerima atau tidak, rumah warga tetap digusur. Padahal menurut keterangan warga, tanah tersebut telah dihibahkan secara lisan oleh pemilik sebelumnya dan mereka telah menempatinya selama puluhan tahun.
Kalau rakyat yang merawat tanah dari dulu bisa digusur begitu saja, lalu keadilan itu untuk siapa?
Dalam Pasal 21 Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) Nomor 5 Tahun 1960 disebutkan bahwa, hak milik atas tanah hanya boleh dimiliki oleh Warga Negara Indonesia. Namun dalam praktiknya, warga yang tinggal dan merawat tanah justru tergusur. Sementara orang yang hanya memegang sertifikat tanpa pernah hadir di lapangan bisa menang di pengadilan. Ini memperlihatkan bahwa hukum sering kali lebih berpihak kepada yang punya kuasa.
Pasal 24 UUPA sebenarnya memberi peluang keadilan bagi warga. Orang yang telah menguasai, merawat, dan menempati tanah secara terus-menerus selama bertahun-tahun berhak untuk mendapatkan pengakuan hukum atas tanah tersebut. Namun realitasnya, sistem lebih percaya pada surat daripada keberadaan nyata. Negara seolah menutup mata terhadap hubungan historis dan sosial yang telah dibangun warga dengan tanah itu.
Di sisi lain, Pasal 385 KUHP Undang-Undang Hukum Pidana melarang pengambilalihan tanah milik orang lain secara tidak sah. Tapi yang sering terjadi justru sebaliknya. Warga yang bertahun-tahun tinggal dianggap melanggar hukum, sementara pemilik modal yang mengklaim tanah bisa bebas dari jerat hukum. Ini membuat hukum terasa berat sebelah. Yang kuat menang dan yang lemah tersingkir.
Padahal konstitusi negara kita, tepatnya Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, menyatakan bahwa bumi dan kekayaan alam harus digunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Namun dalam praktiknya, pembangunan dan proyek investasi justru menggusur rakyat yang telah lama tinggal di suatu wilayah.
Sudah saatnya negara berpihak pada rakyat. Tanah bukan sekadar soal surat, tapi juga soal ruang hidup, sejarah, dan masa depan. Jika suara rakyat terus diabaikan, maka keadilan agraria hanya akan menjadi slogan yang kosong.
Penulis: Mg_Sri Tiana
Editor:Â Indah
Post Comment