#JakartaSesak: Kegagalan Pemerintah atau Kegagalan Kita Semua

Di Jakarta, musuh terbesar bukan lagi yang terlihat secara fisik, melainkan yang tak kasat mata, contohnya udara. Udara yang setiap hari dihirup warga, kini justru menjadi ancaman. Menurut data dari Intelligent Air Quality (IQAir), pada tanggal 25 dan 30 Juni 2025, kualitas udara di Jakarta tercatat mencapai indeks 165 hingga 177. Angka ini termasuk kategori tidak sehat. Kondisi ini dinyatakan berisiko tinggi bagi seluruh kelompok masyarakat, khususnya anak-anak, lansia, dan penderita penyakit pernapasan.

Di media sosial seperti Instagram, tagar #JakartaSesak dan #PolusiJakarta bukan lagi sekadar keluhan, melainkan simbol dari ketidakpuasan masyarakat terhadap respons pemerintah dalam menangani krisis udara. Kebijakan seperti uji emisi kendaraan dan penanaman pohon dianggap hanya bersifat simbolik.

Namun pertanyaannya, apakah masyarakat hanya sebagai korban, atau juga berperan dalam memperburuk situasi?

Masalah ini berada pada dua sisi tanggung jawab. Di satu sisi, pemerintah dinilai lambat dan tidak tegas dalam menanggapi krisis udara. Di sisi lain, banyak warga yang masih menggunakan kendaraan pribadi berbahan bakar fosil, membakar sampah, dan kurang peduli terhadap kebersihan lingkungan. Mereka adalah korban dari pencemaran udara, tetapi juga bagian dari penyebabnya.

Kementerian Kesehatan RI (Kemenkes RI) juga menyatakan bahwa polusi udara merupakan faktor risiko lingkungan terbesar terhadap kesehatan. Dampaknya bisa menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut, asma, bronkitis, penyakit jantung, dan risiko kematian dini.

Karena itu, masalah terbesar Jakarta hari ini adalah krisis udara bersih yang semakin memburuk. Ketidakpuasan warga terus meningkat dan mulai bergeser menjadi ketidakpercayaan. Di saat yang sama, kesadaran masyarakat masih rendah dan justru memperparah keadaan.

Jika pemerintah dan masyarakat benar-benar ingin berubah, maka prioritasnya harus jelas. Perlu perbaikan besar-besaran terhadap sistem transportasi publik, pengendalian emisi yang tegas, pengurangan pembakaran sampah, serta penambahan ruang hijau. Jakarta tidak butuh lebih banyak bangunan tinggi, tetapi lebih banyak udara yang bisa dihirup.

Penulis: Mg_Ainun Zahra
Editor: Indah

Post Comment