Di Antara Senja dan Fajar
Oleh : Ishak Abdul Rohman
Komunikasi dan Penyiaran Islam
Senja telah lama turun di desa itu. Langit yang awalnya cerah perlahan berganti menjadi kelabu. Suasana yang tenang kini dipenuhi dengan desiran angin dan daun-daun yang bergoyang. Di sebuah rumah kayu sederhana di tepi hutan, seorang pria muda duduk di depan jendela kayu, menatap jauh ke luar. Wajahnya tampak penuh dengan kecemasan, seolah waktu bergerak terlalu cepat untuknya.
Pria itu adalah Abdulrohman. Sejak kecil, dia telah dibesarkan dalam kesederhanaan. Ibunya, yang dulu seorang petani, selalu mengajarkan Abdulrohman untuk tidak mengeluh meski hidup kadang terasa berat. Namun, hari ini beban hidup terasa semakin berat, dan Abdulrohman merasa seperti ada sesuatu yang hilang dari hidupnya.
Abdulrohman menatap horizon yang perlahan memudar, seolah mencari sosok yang tak kunjung kembali di antara senyapnya senja. Kehilangan terbesar dalam hidupnya adalah sang ayah, lima tahun sudah kepergiannya, namun luka itu belum benar-benar sembuh. Ayah adalah sumber kekuatan keluarga, tempat berpulang setiap kegelisahan. Sejak ia tiada, Abdulrohman merasa seperti ada bagian dari dirinya yang ikut hilang. Sang ayah meninggalkan banyak impian yang belum sempat diraih, juga janji-janji yang tak pernah sempat ditepati.
Namun di balik kepedihan itu, Abdulrohman tak ingin terus terjebak dalam kesedihan. Ia sadar, hidup harus tetap berjalan, meski ujian datang silih berganti. Dulu, hari-hari penuh harapan terasa dekat saat sang ayah masih di sisinya. Kini, meski harus melangkah tanpa kehadiran sang ayah, Abdulrohman bertekad menyambut fajar baru dengan hati yang lebih kuat.
“Senyum, Abdul,” ujar Ibunya yang tiba-tiba muncul di ambang pintu. Ibunya, yang meskipun sudah cukup tua, masih memancarkan kekuatan yang luar biasa.
“Senja ini, kamu harus menatapnya dengan penuh keyakinan. Jangan biarkan dirimu terjebak dalam bayang-bayang masa lalu.”
Abdulrohman mengangguk, meskipun hatinya masih terasa perih. Dia tahu, nasihat ibunya selalu benar. Namun, terkadang, rasa sakit itu datang tanpa diundang.
“Iya, Bu. Aku hanya berpikir tentang masa depan. Apa yang harus aku lakukan selanjutnya?” tanya Abdulrohman dengan suara pelan.
Ibunya tersenyum bijak, lalu duduk di samping Abdulrohman. “Tanyakan pada dirimu sendiri, apa yang kamu inginkan. Fajar yang baru akan datang jika kamu mempersiapkan diri untuk menyambutnya. Jangan biarkan senja terus menguasai pikiranmu. Jika kamu ingin meraih sesuatu, kamu harus berani mengambil langkah pertama.”
Abdulrohman terdiam, merenungkan kata-kata ibunya. Ia tahu, ibu adalah sosok yang paling mengenalnya. Ibunya tidak pernah membiarkan dia menyerah. Namun, Abdulrohman merasa ada sesuatu yang lebih besar yang harus ia capai, sebuah tujuan yang belum ia temukan.
Sore itu, usai berbincang panjang dengan ibunya, Abdulrohman memutuskan untuk keluar sejenak, menyusuri jalanan desa yang sunyi. Langkahnya pelan menyusur jalan setapak yang berbatu, seolah mengikuti irama pikirannya yang masih penuh rasa.
Udara malam yang mulai turun mengusap lembut wajahnya, membawa sejumput ketenangan. Sesekali ia menengadah, menatap langit yang perlahan menggelap, namun masih menyisakan semburat cahaya dari matahari yang baru saja tenggelam.
Abdulrohman tiba di sebuah ladang kosong yang luas, di mana ia sering bermain bersama ayahnya dulu. Di tempat ini, banyak kenangan indah yang tercipta. Ayahnya sering mengajaknya bercocok tanam, mengajarkan cara hidup yang sederhana dan penuh rasa syukur. Namun, kini ladang itu hanya dipenuhi oleh rumput liar, tanpa ada kehidupan seperti dulu.
Di tengah kesunyian itu, Abdulrohman duduk di atas batu besar, merasakan hembusan angin yang semakin kencang. Ia menutup matanya, berusaha mengatur napas, menenangkan pikirannya. Saat itu, di tengah gelapnya malam, ia merasa ada sesuatu yang berbeda. Ada suara yang perlahan menyentuh hatinya, suara yang memanggilnya untuk bangkit.
Tiba-tiba, Abdulrohman teringat akan mimpinya yang pernah ia pendam selama ini. Sebuah mimpi sederhana, namun penuh makna: untuk bisa melanjutkan usaha ayahnya, untuk mengelola ladang yang dulu mereka rawat bersama, dan membuatnya lebih baik. Mimpi itu tampak jauh, namun ia tahu bahwa itu adalah langkah pertama yang harus ia ambil. Bahkan jika harus melangkah seorang diri.
Hari-hari berlalu dengan cepat. Abdulrohman mulai menghabiskan lebih banyak waktu di ladang. Ia mulai membersihkan lahan yang sudah lama terbengkalai itu. Meski pekerjaan itu tidak mudah, Abdulrohman merasa semangatnya kembali menyala.
Setiap pagi, sebelum fajar terbit, merawat tanah, dan belajar bagaimana membuat ladang itu kembali subur. Kadang-kadang, ia merasa lelah, namun setiap kali senja datang, ia merasa langkahnya semakin pasti.
Waktu terus berjalan, dan Abdulrohman menyadari bahwa ia telah melewati banyak ujian. Kesulitan hidup, keraguan, dan ketakutan yang dulu selalu menghantui, kini perlahan mulai terkikis. Setiap fajar yang baru datang membawa harapan baru. Setiap senja yang berlalu mengajarkan bahwa hari esok selalu bisa menjadi lebih baik.
Pada suatu pagi yang cerah, ketika matahari baru saja terbit, Abdulrohman berdiri di atas tanah ladang yang telah ia rawat dengan penuh kasih. Tanaman yang dulu kering dan tidak terurus kini mulai menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Tanah yang dulunya tandus kini mulai menghijau. Abdulrohman merasa bangga dengan apa yang telah ia capai, meskipun perjalanan itu panjang dan penuh tantangan.
Ibunya datang menghampiri Abdulrohman, tersenyum melihat perubahan yang terjadi di ladang itu. “Lihatlah, Abdul. Kamu telah mengubah segalanya. Senja yang dulu suram kini telah tergantikan dengan fajar yang terang.”
Abdulrouman menatap ladang itu dengan penuh rasa syukur. “Iya, Bu. Aku sudah siap menyambut fajar baru. Aku tahu, ini baru permulaan, tapi aku yakin setiap langkah yang aku ambil akan membawa aku lebih dekat pada mimpi yang ayah tinggalkan.”
Ibunya memeluk Abdulrohman dengan penuh kasih sayang. “Aku bangga padamu, Abdul . Kamu telah membuktikan bahwa harapan selalu ada, bahkan di ujung senja sekalipun.”
Abdulrohman tersenyum, merasakan kedamaian dalam hatinya. Ia tahu, meskipun ayahnya sudah tiada, semangat dan impian sang ayah hidup dalam dirinya. Dan sekarang, ia siap untuk terus melangkah maju, menatap masa depan yang penuh dengan harapan, tanpa takut menghadapi apapun.
Seiring matahari terbit, Abdulrohman berdiri tegak, siap menyambut fajar yang baru. Setiap langkahnya kini penuh keyakinan, karena ia tahu, senja hanya sementara, dan fajar yang baru selalu menanti.
Post Comment