Dari Pajajaran ke Kanekes: Rekonstruksi Sejarah Suku Baduy
Baduy memiliki beragam tafsir dan masih menjadi perdebatan hingga kini. Sebagian menyebut bahwa nama ini berasal dari analogi suku Badawi atau Bedouin dari wilayah Arab, karena gaya hidup masyarakat Baduy yang tertutup dan sederhana.
Ada pula pendapat yang mengaitkannya dengan istilah dalam bahasa Sunda seperti tuluy, aduy, atau uruy, yang menggambarkan pergerakan atau aliran, sesuai dengan kebiasaan masyarakatnya yang pernah hidup berpindah-pindah.
Selain itu, sebutan “Baduy” bisa saja berasal dari nama sungai Cibaduy, yang terletak di sebelah utara Desa Kanekes. Yang pasti, masyarakat itu sendiri lebih memilih menyebut diri mereka sebagai urang Kanekes, berdasarkan nama wilayah tempat tinggal mereka.
Menurut jurnal “Kehidupan Masyarakat Kanekes” yang ditulis oleh Danasasmita, Suku Baduy diyakini sebagai bagian dari keturunan Kerajaan Pajajaran yang melarikan diri ke pedalaman. Pandangan ini merujuk pada peristiwa sekitar abad ke-12 hingga ke-13 M, ketika Kerajaan Pajajaran yang dipimpin oleh Raja Bramaiya Maisatandraman lebih dikenal dengan nama Prabu Siliwangi menguasai seluruh wilayah Pasundan, termasuk Banten.
Kemudian, pada abad ke-17 M, saat Kerajaan Pajajaran dipimpin oleh Prabu Pucuk Umun, terjadi peperangan dengan Kerajaan Banten yang saat itu berada di bawah pimpinan Sultan Maulana Hasanuddin. Pertempuran tersebut berakhir dengan kekalahan Pajajaran, sehingga sebagian keturunannya diyakini melarikan diri dan menetap di pedalaman, yang kemudian berkembang menjadi komunitas yang sekarang dikenal sebagai Suku Baduy.
Namun, pandangan ini dibantah oleh Geise dalam jurnal “Badujs en Moslims in Lebak Parahiang Zuid Banten”. Menurutnya, masyarakat Baduy bukanlah pelarian dari kerajaan mana pun, melainkan penduduk asli Banten Selatan yang telah lama mendiami kawasan tersebut jauh sebelum terjadi konflik kerajaan.
Pandangan ini diperkuat oleh pernyataan masyarakat Baduy dalam jurnal “Masyarakat Baduy dan Kebudayaannya” yang ditulis oleh Garna. Mereka menyebut diri sebagai “urang Kanekes,” bukan semata-mata karena penyebutan dari orang luar. Istilah tersebut sudah lama melekat dan digunakan oleh masyarakat yang tinggal di Desa Kanekes maupun kampung-kampung dangka (perkampungan luar wilayah inti Baduy) sebagai bentuk identitas asli mereka.
Secara sosial, masyarakat Baduy terbagi menjadi dua kelompok besar: Baduy Tangtu (Baduy Dalam) dan Baduy Panamping (Baduy Luar), hal ini bukanlah hasil dari konflik atau pemisahan keras, melainkan bagian dari sistem sosial yang diwariskan secara turun-temurun untuk menjaga harmoni adat dan alam.
Baduy Tangtu merupakan inti dari masyarakat adat Baduy. Mereka tinggal di tiga kampung utama: Cibeo, Cikartawana, dan Cikeusik. Kawasan ini dianggap sebagai wilayah paling sakral, pusat dari tatanan adat Baduy. Masyarakat Tangtu menjalani kehidupan yang sangat ketat terhadap pikukuh, atau aturan adat yang diyakini sebagai amanat dari leluhur (karuhun). Mereka disebut sebagai tangtu karena memegang teguh “ketentuan” atau aturan yang tidak bisa ditawar.
Asal mula kelompok ini berakar dari keyakinan bahwa menjaga keseimbangan alam dan hidup sederhana adalah bentuk ibadah tertinggi. Maka, mereka menghindari teknologi, tidak menggunakan listrik, dan hidup selaras dengan alam. Hidup mereka adalah simbol dari “pusat kekuatan adat”.
Sementara itu, Baduy Panamping lahir sebagai bentuk adaptasi. Mereka adalah masyarakat yang secara geografis tinggal di luar wilayah inti tangtu, namun masih berada dalam satu sistem adat yang sama. Menurut Etnografi Garna, mereka disebut panamping karena secara harfiah berarti “yang mendampingi”. Mereka mendampingi, mengawal, sekaligus menjadi jembatan antara urang tangtu dan dunia luar.
Asal-usul keberadaan Panamping tidak lepas dari aturan adat itu sendiri. Seseorang dari Tangtu bisa menjadi bagian dari Panamping apabila ia, atau keluarganya, melanggar salah satu larangan adat. Namun, pengeluaran ini tidak bersifat memutus ikatan sosial. Mereka tetap dianggap bagian dari masyarakat Baduy, hanya saja tidak lagi menjalankan adat secara penuh.
Di sisi lain, ada juga warga Panamping yang memang sejak awal tinggal di luar kawasan inti, namun tetap memeluk kepercayaan Sunda Wiwitan dan menghormati keputusan Pu’un. Secara fungsional, Panamping inilah yang lebih fleksibel, bisa berinteraksi dengan dunia luar, berdagang, bahkan ada yang bersekolah tanpa kehilangan akar spiritualnya.
Penulis: Mg_Syabila Assafa
Editor: Davina
Post Comment