Dalam Peluk Hujan dan Kenangan

Malam itu, bumi terasa begitu dingin, seolah turut merasakan duka yang menyelimuti hati Sean. Hujan baru saja reda, menyisakan aroma petrichor yang lembut terbawa angin, menyusup melalui celah jendela kamarnya.

Sean duduk termenung di meja belajarnya, tatapannya kosong mengarah ke taman yang basah oleh hujan. Siang tadi, ia baru saja mengantar kepergian nenek tercinta, ke peristirahatan terakhir. Sejak itu, dunia Sean seperti kehilangan warna.

Setiap sudut rumah mengingatkannya akan kenangan bersama sang nenek. Suara lembut, aroma teh hangat, dan sentuhan kasih sayangnya. Sean menggenggam erat foto sang nenek yang telah pudar. Di sampingnya, tergeletak sebuah buku tua bersampul lusuh, milik nenek Sean. Buku itu berisi curahan hati, doa, dan harapan-harapan yang tak sempat terucapkan.

Tangannya gemetar saat meraih buku itu. Halaman demi halaman ia buka perlahan. Tulisan nenek yang rapi dan penuh kelembutan seolah membisikkan kasih sayang dari balik waktu.

Pada salah satu halaman, matanya terpaku pada sebuah catatan yang membuat dadanya sesak.

“Untuk cucuku tersayang, jika suatu saat hidupmu terasa berat, jangan menyerah. Ingatlah bahwa hujan turun bukan untuk menyiksa, melainkan untuk menyuburkan tanah agar bunga-bunga dapat bermekaran. Jangan takut untuk menangis. Air mata bukan tanda kelemahan tapi cara hati menyembuhkan luka, memberi ruang untuk untuk tumbuh dan mengu,” tulis sang nenek.

Sean memejamkan mata. Air matanya mengalir, membasahi pipi dalam diam. Suara tetes hujan di atap rumah seperti ikut berbisik menenangkan. Perlahan, ia bangkit dari kursinya, menatap keluar jendela. Hujan mulai reda, udara dingin yang perlahan berubah menjadi hangat. Tak lama kemudian, pintu kamar terbuka pelan.

“Sean?” suara lembut ibunya terdengar.

Iris, sang ibu melangkah pelan masuk ke kamar. Wajahnya tampak cemas saat melihat mata Sean yang sembap dan buku harian tergeletak di atas meja.

“Kamu baik-baik aja, Nak?” tanyanya.

Sean mengangguk pelan. “Aku… aku baik-baik saja, Bu,” sambil memegang buku harian sang nenek. “Ternyata, nenek nyimpan banyak pesan buat aku.”

Iris tersenyum tipis, lalu menghampiri Sean dan menyentuh bahunya dengan lembut.

“Nenekmu memang selalu bijak. Pesan-pesan nya bisa menjadi peganganmu, Nak. Kamu tidak sendiri, ada ibu di sini”.

Dalam pelukan ibunya, Sean merasa beban hatinya terangkat. Ia tahu, meskipun kehilangan nenek Yuna begitu menyakitkan, hidupnya tetap harus berjalan.

“Terima kasih, Bu. Aku tahu nenek ingin aku tumbuh jadi seorang anak yang kuat. Aku akan berusaha menjalani semuanya, walaupun berat,” ucap Sean dengan suara yang lebih tegar.

Iris mengangguk lalu tersenyum lembut.

“Itu yang nenek harapkan, Nak. Kita harus tetap melangkah, membawa kenangan indah sebagai kekuatan.” tutur sang ibu.

Sean melepaskan pelukan ibunya perlahan dan menatap Iris penuh rasa syukur. “Kehilangan ini memang berat, tapi hidupku harus tetap berjalan dan menerima, Bu. Aku yakin nenek pasti akan selalu ada di hatiku,” ucapnya dengan berat namun tersenyum.

Malam itu, hujan berhenti. Awan mulai membuka ruang bagi bintang untuk bersinar. Dan di dalam hati Sean, sebuah harapan baru mulai tumbuh. Ia tahu, perjalanan hidup masih panjang, tapi kini ia siap melaluinya, dengan kekuatan cinta yang tak akan pernah pudar.

Penulis: Mg_Hidayah
Editor: Ayunda

Post Comment