Aroma Terakhir Kue Mama
Di sebuah sudut kota yang jarang di sentuh keramaian, berdiri sebuah toko mungil bernama Kue Mama. Di balik etalase kacanya yang sederhana, tersimpan aroma harum mentega, gula, dan yang paling abadi adalah kenangan. Manisnya tak hanya terasa di lidah, tapi juga menetap dalam ingatan.
Mama, seorang perempuan paruh baya berselimut senyum hangat dan tangan yang selalu sibuk membuat kelezatan. Ia tak pernah mengukur rasa hanya dengan timbangan, melainkan dengan hati. Kuenya mungkin tak menggoda para pemburu kemewahan, tetapi bagi anak-anak pulang sekolah, pasangan yang dimabuk cinta, hingga lelaki tua yang merindukan masa muda, kue Mama adalah bagian dari rumah mereka.
Dulu, toko itu begitu hidup. Setiap pagi, aroma mentega cair, cokelat leleh, dan vanila hangat menyusup ke lorong-lorong sempit, menggoda siapapun yang melintas. Anak-anak berlarian dengan koin di tangan, menukar dengan bolu kukus pelangi yang menggiurkan. Para bapak pulang kerja kerap mampir, sekadar membeli roti pisang hangat untuk di bawa pulang.
Mama tak pernah menghitung laba, Ia menghitung tawa.
“Kalau hari ini ada lima anak pulang sekolah dengan tawa karena kue Mama, itu sudah cukup,” ujarnya suatu hari sambil mengepel lantai toko dengan kain lusuh.
Namun, waktu punya caranya sendiri untuk mengganti yang lama dengan yang baru. Anak-anak tumbuh dewasa dan bergegas mengejar mimpi di kota. Para ibu mulai tertarik pada camilan instan di rak swalayan. Sementara Mama, yang dahulu cekatan seperti jarum jam dinding di tokonya, kini perlahan mulai pelupa dan melambat.
Tahun itu, hujan turun lebih sering dari biasanya. Atap toko mulai bocor, cat mengelupas dan etalase dipenuhi debu tebal. Loyang-loyang tua mulai berkarat karena tak lagi tersentuh adonan. Hingga akhirnya, suatu pagi yang hening, pintu toko itu tak lagi terbuka. Sebuah papan kayu tergantung di sana, mendakan sebuah perpisahan, dan dunia terus melaju, seolah-olah toko itu tak pernah ada.
Tapi tidak bagiku.
Setiap kali pulang ke kampung halaman, aku masih melewati gang sempit itu. Terkadang, aku berhenti di depan pintu tuanya yang kusam, lantas membayangkan Mama berdiri di balik meja kasir, tangannya sibuk membungkus kue bolu, dan matanya menyipit karena senyum tulusnya.
Mama telah tiada, begitu pula tokonya. Namun, di ujung kenangan yang abadi, toko kue itu masih berdiri kokoh dengan segala harum dan hangatnya. Sebuah tempat yang mengajarkan bahwa kehangatan sejati tak hanya berasal dari oven yang menyala, melainkan dari cinta yang tak pernah padam.
Penulis : Mg_Nia Rifa Darina
Editor : Ayunda
Post Comment