Kemiskinan Bukan Konten: Antara Simpati dan Eksploitasi

Kemiskinan di Indonesia bukan cuma angka di laporan pemerintah. Itu kenyataan yang dihadapi jutaan orang setiap hari. Di tengah perkembangan teknologi dan ekonomi di kota-kota besar, masih banyak masyarakat yang hidup tanpa kepastian soal makanan, pendidikan, atau tempat tinggal yang layak.

Sayangnya, kemiskinan sering dijadikan bahan tontonan. Mengutip jurnal “Poverty Porn: Komodifikasi dan Etika Media” oleh Rosniar tahun 2020, banyak media menampilkan kemiskinan dengan cara dramatis, seperti wajah murung, rumah tidak layak tinggal, dan narasi menyedihkan. Tujuannya bukan untuk mendorong pemahaman, tapi mengejar simpati cepat dan viralitas.

Hal serupa juga terjadi di media sosial. Kasus video akun TikTok @monfersalim pada 2024 jadi contoh jelas. Ia menjanjikan uang 5 juta rupiah kepada seorang kakek, tapi ternyata hanya 200 ribu yang diberikan. Netizen ramai mengkritik aksi tersebut sebagai bentuk eksploitasi. Konten semacam ini bukannya memberdayakan, justru memperkuat ketimpangan kuasa antara si “pemberi” dan yang “diberi.”

Lebih buruk lagi, publik dibiarkan larut dalam rasa iba tanpa dorongan untuk memahami akar masalahnya. Padahal, kesenjangan pendidikan, sempitnya lapangan kerja, dan distribusi kekayaan yang timpang adalah persoalam utama yang seharusnya dibongkar.

Data BPS Februari 2025 mencatat angka pengangguran di Indonesia mencapai 7,28 juta orang. Rasio gini tetap tinggi di angka 0,388. Ini bukan angka kecil. Ketimpangan masih nyata dan belum terselesaikan.

Ketika kemiskinan hanya dipakai sebagai latar konten, orang miskin kehilangan hak untuk bercerita atas nama dirinya sendiri. Mereka direkam, dipotret, lalu ditinggalkan. Padahal, perubahan tak lahir dari rasa kasihan yang sebentar, melainkan dari keberanian melawan ketimpangan secara kolektif.

Penulis: Mg_Risa

Editor: Indah

Post Comment