Jejak yang Tak Terlihat 

Di sebuah tikungan jalan, saat kota masih terlelap dalam mimpi, tepat pukul 05.00 pagi dengan langit yang masih gelap dan sunyi, seorang pria paruh baya bernama Pak Arif melangkah pelan. Rompi oranye yang mulai memudar membungkus tubuhnya, dan sapu lidi yang setia digenggam erat di tangan teman dalam keheningan yang telah menemani bertahun-tahun.

Dengan langkah ringan dan gerakan yang penuh semangat, Pak Arif mulai menyapu trotoar kota yang masih sepi. Bukan sekadar daun-daun kering yang ia bersihkan, tapi juga jejak-jejak ulah manusia: bungkus makanan, sampah plastik, botol kosong, dan sisa-sisa ketidaksadaran yang tercecer begitu saja.

Pak Arif bukan tokoh terkenal, ia bukan pejabat, bukan juga pahlawan yang dielu-elukan. Bahkan, para pengendara yang lalu-lalang seringkali tak memedulikannya. Namun, Pak Arif tetap bekerja dengan tenang dan tulus, seolah tahu bahwa kota ini membutuhkan seseorang yang peduli meskipun ia tidak dikenal.

Baginya, sampah plastik bukan sekadar sampah. Ia tahu, satu plastik kecil bisa menyumbat saluran udara dan menyebabkan banjir. Pecahan kaca yang dibiarkan bisa melukai kaki seorang anak. Kota yang kotor bisa mengotori cara memandang dan memikirkan penghuninya.

Suatu pagi, seorang pemuda berhenti di padang rumput. Ia menyodorkan sebungkus nasi dan mengendurkan air mineral.

“Kenapa masih semangat kerja, Pak?” tanyanya sang pemuda heran.

Pak Arif hanya tersenyum, lalu berkata,

“Karena kota ini tidak bisa bersih dengan sendirinya, Nak. Kadang-kadang, perubahan dimulai dari hal yang sederhana. Meskipun kecil, ini adalah bentuk terima kasih kita di dunia.”

Pemuda itu memikirkan, di tengah gangguan hidup yang serba cepat, kata-kata Pak Arif seperti pendapatan yang lembut, bahwa kebaikan tidak selalu harus besar, tidak selalu harus terlihat.

Tahun demi tahun berlalu.

Waktu terus berjalan tanpa henti. Namun suatu pagi, langkah kecil dan suara sapu tidak lagi terdengar. Tak ada lagi sosok tua dengan rompi oranye. Hanya ada sampah sapu lidi dan keranjang yang bersandar diam pada tiang listrik. Trotoar tampak sama, tapi suasananya berbeda. Seolah-olah jalanan itu merindukan seseorang yang dulu menyapunya dengan sabar, dengan kasih, dan dengan cinta yang tak pernah menuntut ketidakseimbangan.

Orang-orang mulai bertanya, “Kemana Pak Arif?”

Namun tidak ada yang benar-benar tahu pasti. Mungkin Pak Arif sudah berpulang. Atau mungkin dia hanya ingin beristirahat sejenak dari dunia yang sering lupa menghargai yang paling sederhana.

Namun, jejaknya yang tertinggal bukan hanya di jalanan yang pernah bersih karena ulah tangan, tapi juga di hati mereka yang mulai mengerti arti dari sebuah pengabdian dalam diam.

Penulis: Mg_Nastiti 

Editor: Ayunda

Post Comment