Pamarayan: Jejak Sejarah di Balik Bendungan Tua
Bendungan Pamarayan terletak di perbatasan Kecamatan Pamarayan dan Kecamatan Cikeusal, Kabupaten Serang, Banten. Bangunan ini bukan sekadar infrastruktur tua, melainkan saksi sejarah yang telah berdiri kokoh sejak tahun 1905.
Dibangun pada masa kolonial Belanda, bendungan yang membentang sepanjang 191,65 meter ini memiliki peran penting bagi masyarakat setempat. Selama puluhan tahun, Bendungan Pamarayan menjadi sumber kehidupan bagi para petani, mengairi ribuan hektar sawah melalui sistem irigasi yang tergolong maju pada zamannya. Namun, seiring berjalannya waktu, fungsi bendungan ini perlahan menurun.
Kini, Bendungan Pamarayan tidak lagi menjadi andalan bagi sektor pertanian. Berbagai kerusakan telah menimpanya, mulai dari keruntuhan total pada tahun 2004 hingga kondisi tanggul yang dinyatakan kritis pada tahun 2017.
Ketegangan di Bendungan Pamarayan bermula sejak masa pembangunannya oleh pemerintah kolonial Belanda pada tahun 1905. Bendungan ini memang menjadi sumber kehidupan utama bagi para petani di sekitarnya, tetapi perjalanannya tidak selalu berjalan mulus.
Berbagai kerusakan yang terjadi dari waktu ke waktu mulai mengancam keberlanjutannya fungsi bendungan ini, dan memicu ketegangan antara petani dan pihak-pihak berwenang.
Akibatnya, peran vital bendungan ini dalam menunjang pertanian pun kian memudar. Meski demikian, hilangnya fungsi teknis tersebut tidak mengurangi nilai sejarah yang dikandungnya.
Dikutip dari jurnal kinerja Bendung Pamarayan yang di tulis oleh Sarjono Puro, disebutkan bahwa kerusakan parah terjadi pada tahun 2004 yang menyebabkan sistem irigasi lumpuh total. Para petani pun mulai resah karena kehidupan mereka sangat bergantung pada air dari bendungan tersebut untuk mengairi sawah. Kerusakan itu secara langsung mengancam mata pencaharian mereka.
Ketegangan kian memuncak pada tahun 2017, ketika dua tanggul aliran irigasi dinyatakan dalam kondisi kritis. Distribusi air ke lahan pertanian semakin terhambat. Bahkan, tinggi jagaan bendungan yang seharusnya minimal satu meter di atas permukaan air tidak lagi terpenuhi, meningkatkan risiko bagi kelangsungan irigasi.
Penurunan kinerja bendungan ini disebabkan oleh minimnya pemeliharaan dari pihak terkait. Dampaknya langsung dirasakan masyarakat pada penurunan produksi pertanian dan pendapatan petani.
Situasi ini memicu ketegangan yang berkepanjangan, di mana petani terus menuntut adanya perbaikan dan pemeliharaan yang layak. Sementara itu, pihak berwenang menghadapi kendala teknis serta keterbatasan finansial dalam upaya rehabilitasi.
Saat ini, Bendungan Lama Pamarayan telah ditetapkan sebagai cagar budaya dan menjadi destinasi wisata sejarah. Pengunjung yang datang dapat menyaksikan sisa-sisa kejayaan bendungan ini, merenungkan kisah para petani yang dulu bergantung pada aliran airnya, dan merasakan atmosfer sejarah yang masih terasa kuat.
Kisah ini menunjukkan bahwa infrastruktur bukan sekadar soal pembangunan, tetapi juga tentang pemeliharaan berkelanjutan dan dampaknya bagi kehidupan masyarakat. Ketegangan di Bendungan Pamarayan menjadi potret perjuangan petani dalam mempertahankan mata pencaharian mereka di tengah berbagai tantangan.
Bendungan ini pun menjadi cermin bagaimana hubungan antara masyarakat, alam, dan kebijakan terus berkelindan sepanjang sejarah.
Penulis: Mg_Sunengsih
Editor: Davina
Post Comment