Seba Baduy: Tradisi Sakral sebagai Simbol Kesetiaan dan Syukur

Setiap tahun, setelah masa panen raya berakhir, masyarakat adat Baduy melaksanakan sebuah tradisi sakral yang telah berlangsung secara turun-temurun. Tradisi ini bukan sekadar perjalanan fisik yang melintasi jarak puluhan kilometer, melainkan juga menyimpan makna spiritual dan sosial yang mendalam. Dikenal dengan nama Seba, tradisi ini menjadi simbol ketaatan, penghormatan kepada pemerintah, dan wujud syukur atas hasil bumi.

Mengutip dari Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kemenparekraf) tahun 2024, Seba berasal dari bahasa Baduy yang berarti persembahan. Tradisi ini merupakan ritual adat tahunan yang dilakukan oleh masyarakat Baduy di Kabupaten Lebak, Banten, sebagai bentuk penghormatan kepada pemerintah, sekaligus sebagai ungkapan rasa syukur kepada Tuhan atas berkah panen yang melimpah.

Secara historis, Seba telah berlangsung sejak ratusan tahun lalu, tepatnya pada masa kejayaan Kesultanan Banten. Hingga kini, tradisi ini masih dijaga dan dilaksanakan dengan penuh khidmat oleh masyarakat Baduy sebagai bentuk kesetiaan terhadap negara dan pemerintah.

Seba diawali dengan upacara Kawalu, yaitu masa pertapaan selama tiga bulan yang menjadi ungkapan syukur kepada Tuhan atas hasil panen. Setelah itu, masyarakat Baduy, khususnya Baduy Luar yang dipimpin oleh Jaro (ketua adat), melakukan perjalanan kaki sejauh kurang lebih 80 kilometer dari Desa Kanekes menuju Pendopo Kabupaten Lebak di Rangkasbitung dan Pendopo Gubernur Banten di Serang.

Dalam prosesi Seba, mereka membawa hasil bumi seperti padi, madu, dan gula aren untuk dipersembahkan kepada pemerintah daerah. Proses ini disertai dengan Tatabean, yakni laporan kondisi warga yang disampaikan oleh Jaro Duabelas kepada Bupati atau Gubernur. Dalam pertemuan tersebut, terjadi dialog antara perwakilan adat Baduy dan pejabat pemerintah, yang sering kali diisi dengan ungkapan terima kasih atas peran masyarakat Baduy dalam menjaga kelestarian hutan dan lingkungan. Selanjutnya acara Seba ditutup dengan penyerahan hasil bumi secara simbolis oleh masyarakat Baduy, dan sebaliknya, pihak pemerintah memberikan bingkisan sebagai tanda balasan penghormatan.

Menurut jurnal yang berjudul “Patanjala 4” karya Endang tahun 2012, makna mendalam dari Seba juga menunjukkan bahwa masyarakat Baduy adalah masyarakat asketik, yaitu yang hidup sederhana dan jauh dari kemewahan duniawi. Pelestarian tradisi Seba menjadi penting, tidak hanya sebagai warisan budaya, tetapi juga sebagai bentuk perlawanan terhadap pelunturan nilai-nilai luhur dalam kehidupan modern.

Tradisi Seba tidak hanya menjadi simbol penghormatan dan loyalitas, tetapi juga mencerminkan filosofi hidup masyarakat Baduy yang menjunjung tinggi keseimbangan antara manusia, alam, dan kekuasaan. Seba mengajarkan nilai-nilai luhur seperti kesetiaan, kesederhanaan, syukur, dan harmoni yang masih dijaga teguh oleh masyarakat Baduy di tengah derasnya arus modernisasi.

Penulis: Mg_Litha
Editor: Frida

Post Comment