Ketika Demokrasi Dianggap Ancaman

Suara kritis kerap dianggap sebagai bentuk perlawanan. Ketika mahasiswa menyuarakan pendapatnya, yang mereka terima justru intimidasi dan penangkapan oleh aparat kepolisian secara sewenang-wenang. Padahal, mereka bukan kriminal, apalagi musuh negara. Lantas, mengapa mereka diperlakukan seperti penjahat yang harus dijebloskan ke balik jeruji? Di mana para penegak hukum yang semestinya menjaga keadilan, bukan melanggar.

Dilansir dari akun Instagram @revolovetions, beberapa mahasiswa Semarang yang turun aksi dalam peringatan Hari Buruh pada 1 Mei 2025, hingga kini masih ditahan oleh aparat kepolisian. Sudah lebih dari 40 hari mereka kehilangan kebebasan, hanya karena menyuarakan kebijakan dan praktik kekuasaan yang dinilai menyimpang. Aksi mereka membawa tuntutan yang jelas dan kontekstual, seperti penghapusan sistem outsourcing, pengesahan RUU Perlindungan Pekerja Rumah Tangga (PRT), revisi UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, realisasi upah layak, pengesahan RUU perampasan aset, hingga pembentukan Satgas PHK.

Tuntutan itu lahir dari nalar kritis dan kepedulian pada rakyat. Namun justru itulah yang membuat kekuasaan merasa terancam. Ketika kritik direspon dengan penangkapan, maka negara secara tidak langsung mencederai prinsip-prinsip demokrasi.

Ironisnya, penahanan ini berdampak pada keluarga mahasiswa. Para orang tua menyaksikan perubahan signifikan pada mental anak mereka. Ini bukan hanya soal kekerasan fisik, tetapi juga luka psikologis.

Penahanan tanpa dasar hukum yang adil melanggar hak mendasar warga negara, seperti hak atas kebebasan berpendapat, hak atas rasa aman, dan hak untuk hidup dengan martabat. Hal ini jelas bertentangan dengan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menjamin kebebasan berekspresi dan berorganisasi.

Di mata penguasa yang otoriter, suara mahasiswa sering dilabeli sebagai ancaman. Padahal, mereka hanya berdiri bersama rakyat, menyuarakan hal-hal yang selama ini diabaikan. Sayangnya, yang mereka terima justru pagar kawat berduri, gas air mata, stigma, dan bahkan kurungan.

Salah satu alasan mengapa tindakan semacam ini terus berulang adalah rendahnya pertanggungjawaban hukum. Banyak kasus serupa di masa lalu yang tak pernah dituntaskan. Para pelaku kekerasan terhadap mahasiswa kerap lolos dari jerat hukum atau hanya menerima hukuman ringan. Akibatnya, praktik represif dibiarkan tumbuh sebagai kenormalan.

Kasus penahanan mahasiswa ini bukan hanya tentang hilangnya kebebasan individu. Ini tentang pembungkaman demokrasi, pengebirian kebebasan berpendapat, dan perusakan nilai-nilai kemanusiaan. Mereka ditangkap bukan karena mereka musuh negara, tetapi karena suara mereka terlalu jujur dan terlalu keras bagi telinga yang sudah terlalu nyaman dengan status kekuasaannya.

Penulis: Mg_Diroya
Editor: Indah

Post Comment